Pedoman Penerbitan Sertifikat Tanah Secara Sporadik Setelah tahun 1997

oleh -

PADANG,SUMBARTODAY-Apabila merujuk pada Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pengajuan pendaftaran tanah yang Anda lakukan termasuk dalam kategori pendaftaran hak atas tanah secara sporadik, artinya, kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali atas satu bidang tanah yang dilakukan atas inisiatif pihak yang berkepentingan.

Untuk melakukan pendaftaran ini, Anda dapat mengajukannya sendiri, atau meminta bantuan pada Notaris/PPAT di wilayah kerja yang sama dengan letak tanah. Sebaiknya pengajuan tersebut dilakukan dengan melengkapi berkas-berkas persyaratannya. Yang perlu juga diperhatikan, permohonan haruslah dilakukan oleh orang yang namanya tercantum dalam Surat Keputusan tersebut. Dalam hal nama orang yang terdapat dalam dokumen tersebut telah meninggal dunia, maka para ahli waris sacara bersama-sama atau memberikan kuasa kepada salah satu ahli waris yang melakukan proses permohonan ini.

Untuk proses pensertifikatan secara sporadik bisa dilihat lebih lanjut dalam artikel Pensertifikatan Tanah Secara Sporadik. Juga pada buku: “Kiat-Kiat Cerdas dan Bijak Dalam Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan”.

Penerbitan Sertifikat Secara Sporadik.

Sehubungan dengan banyaknya kendala yang ditemui dalam proses melakukan sertifikat tanah adat atau tanah lain yang belum bersertifikat, maka melalui media ini saya uraikan “Bagaimana Cara Mensertifikatkan Tanah Girik?”, berikut saya memberikan tambahan penjelasan mengenai tata cara mensertifikatkan tanah.

Dalam pasal 13 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, dikenal dua macam bentuk pendaftaran tanah, yaitu:
1. Pendaftaran tanah secara sistematik, yaitu pendaftaran tanah yang didasarkan pada suatu  rencana          kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri
2. Pendaftaran tanah secara sporadik. Untuk desa/kelurahan yang belum ditetapkan sebagai wilayah            pendaftaran tanah secara sistematik tersebut.

Apakah beda antara kedua system pendaftaran tanah tersebut? Inti perbedaannya adalah pada inisiatif pendaftar. Kalau yang berinisiatif untuk mendaftarkannya adalah pemerintah, dimana dalam suatu wilayah tertentu, secara serentak semua tanah dibuatkan sertifikatnya, maka hal tersebut disebut pendaftaran secara sistematis. Hal ini oleh orang awam sering di istilahkan sebagai: “Pemutihan”.

Jika inisiatif untuk mendaftarkan tanah berasal dari pemilik tanah tersebut sedangkan setelah menunggu beberapa waktu tidak ada program pemerintah untuk mensertifikatkan tanah di wilayah tersebut, maka pemilik tanah dapat berinisiatif untuk mengajukan  pendaftaran tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat. Hal inilah yang disebut pendaftaran tanah secara sporadik.

Kegiatan Pendaftaran Tanah (Pasal 14 – 22 PP 24/1997) sendiri terbagi atas:

  1. Pembuatan peta dasar pendaftaran Pada proses ini, dilakukan pemasangan, pengukuran, pemetaan dan pemeliharaan titik dasar teknik nasional. Dari Peta dasar inilah dibuatkan peta pendaftaran.
  2. Penetapan batas bidang-bidang tanah, Agar tidak terjadi sengketa mengenai batas kepemilikan tanah di suatu tempat, antara pemilik dengan pemilik lain yang bersebelahan, setiap diwajibkan untuk dibuatkan batas-batas pemilikan tanah (berupa patok2 dari besi atau kayu). Dalam penetapan batas2 tersebut, biasanya selalu harus ada kesepakatan mengenai batas2 tersebut dengan pemilik tanah yang bersebelahan, yang dalam bahasa hukumnya dikenal dengan istilah contradictio limitative.
  3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, Dari batas-batas tersebut, dilakukan pengukuran untuk diketahui luas pastinya. Apabila terdapat perbedaan luas antara luas tanah yang tertera pada surat girik/surat kepemilikan lainnya dengan hasil pengukuran Kantor Pertanahan, maka pemilik tanah bisa mengambil 2 alternatif:
  1. Setuju dengan hasil pengukuran kantor pertanahan, Jika setuju, maka pemilik tanah harus menanda-tangani pernyataan mengenai luas tanah  yang dimilikinya dan yang akan diajukan sebagai dasar pensertifikatan.
  2. Tidak Setuju maka kita harus mengajukan keberatan dan meminta dilakukannya pengukuran ulang tanah-tanah yang berada di sebelah tanah miliknya. Untuk mencegah terjadinya sengketa mengenai batas-batas tersebut, maka pada waktu dilakukannya pengukuran oleh kantor pertanahan, biasanya pihak kantor pertanahan mewajibkan pemilik tanah (atau kuasanya) hadir dan menyaksikan pengukuran tersebut, dengan dihadiri pula oleh RT/RW atau wakil dari kelurahan setempat.
  3. Pembuatan daftar tanah, Bidang-bidang tanah yang sudah dipetakan atau dibubuhkan nomor pendaftarannya pada peta  pendaftaran dibukukan dalam daftar tanah
  4. Pembuatan surat ukur. Pembuatan Surat Ukur merupakan produk akhir dari kegiatan pengumpulan dan pendaftaran tanah, yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan sertifikat tanah selama ini disebut dengan Girik.

Apakah syarat-syaratnya untuk mengajukan permohonan pendaftaran secara sporadik?

  1. Surat Permohonan dari pemilik tanah untuk melakukan pensertifikatan tanah milknya
  2. Surat kuasa (apabila pengurusannya dikuasakan kepada orang lain).
  3. Identitas diri pemilik tanah (pemohon), yang dilegalisir oleh pejabat umum yang berwenang (biasanya notaris) dan atau kuasanya
    a. Untuk perorangan: foto copy KTP dan KK sedangkan untuk
    b. Badan hukum (dalam hal ini PT/Yayasan/Koperasi): anggaran dasar berikut seluruh perubahan- perubahannya dan pengesahannya dari Menteri yang berwenang
  4. Bukti hak atas tanah yang dimohonkan, yaitu berupa: Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan

Sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959 syaratnya adalah sebagai berikut:

  1. Surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya.
  2. Petok pajak bumi/Landrente, girik, pipil, ketitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10/1961
  3. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP No. 10/1961 dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
  4. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
  5. Akta ikrar wakaf/akta pengganti ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disert5ai alas hak yang diwakafkan, atau risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum di bukukan dengan disertai alas hak yang di alihkan, atau
  6. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah, atau
  7. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
  8. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang, atau
  9. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI, dan Pasal VII ketentuan-ketentuan konversi UUPA, atau
  10. Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan berlaku sebelum diberlakukannya UUPA (dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang – dalam hal ini biasanya Lurah setempat), atau
  11. Bukti lainnya, apa bila tidak ada surat bukti kepemilikan, yaitu berupa: Surat Pernyataan Penguasaan Fisik lebih dari 20 tahun secara terus menerus dan surat keterangan Kepala Desa/Lurah disaksikan oleh 2 orang tetua adat/penduduk setempat
  12. Surat Pernyataan telah memasang tanda batas
  13. Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan
  14. Foto copy SK Ijin Lokasi dan surat keterangan lokasi (apabila pemohon adalah Badan Hukum).

 

Penerbitan Sertifikat Tanah Secara Sporadik Setelah tahun 1997

Untuk menjamin hak atas tanah yang telah didaftarkan maka diterbitkan sertifikat yang merupakan tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut ketentuan peraturan dan perundang-undangan.

Sertifikat Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah atau juga disebut Sertifikat Hak terdiri dari salinan buku tanah atau surat ukur yang dijilid dalam 1 (satu) sampul yang memuat :

–    Data Fisik: letak, batas-batas, luas, keterangan fisik Tanah dan beban yang ada di atas Tanah;

–    Data Yuridis: Jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan) dan siapa pemegang hak.

Dari uraian di atas, maka prosedur pengurusan dan penerbitan sertifikat yang di laksanakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, yang mana dalam mengurus sertifikat harus melewati 3 (tiga) tahap, yang garis besarnya adalah sebagai berikut :

  1. Permohonan Hak

Pemohon sertifikat hak atas tanah dibagi menjadi 4 golongan, dan masing-masing diharuskan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu antara lain:

  1. Penerima Hak, yaitu para penerima hak atas tanah Negara berdasarkan Surat Keputusan pemberian hak yang dikeluarkan pemerintah cq. Direktur Jenderal Agraria atau pejabat yang ditunjuk. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat :
  2. Asli Surat Keputusan Pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.
  3. Tanda lunas pembayaran uang pemasukan yang besarnya telah ditentukan dalam Surat Keputusan pemberian hak atas tanah tersebut.
  4. Para Ahli Waris, yaitu mereka yang menerima warisan tanah, baik tanah bekas hak milik adat ataupun hak-hak lain. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat sebagai berikut :
  5. Surat tanda bukti hak atas tanah, yang berupa sertifikat hak tanah yang bersangkutan.
  6. Bila tanah tersebut sebelumnya belum ada sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi/petok D lama/perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
  7. Surat Keterangan kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.
  8. Surat keterangan waris dari instansi yang berwenang.
  9. Surat Pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
  10. Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
  11. Keterangan pelunasan pajak tanah sampai saat meninggalnya pewaris.
  12. Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.
  13. Para pemilik tanah, yaitu mereka yang mempunyai tanah dari jual-beli, hibah, lelang, konversi hak dan sebagainya. Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat :
  14. Bila tanahnya berasal dari jual beli dan hibah :

–    Akta jual beli / hibah dari PPAT.

–    Sertifikat tanah yang bersangkutan.

–    Bila tanah tersebut belum ada sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi/petok D lama/perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan/pemberian hak dari instansi yang berwenang.

–    Surat keterangan dari kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.

–    Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.

–    Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.

–    Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.

Bila tanahnya berasal dari lelang :

–    Kutipan otentik berita acara lelang dari kantor lelang.

–    Sertifikat tanah yang bersangkutan atau tanda bukti hak atas tanah lainnya yang telah kepala desa dan dikuatkan oleh camat.

–    Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.

–    Keterangan pelunasan / bukti lunas pajak tanah yang bersangkutan.

–    Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.

–    Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang diminta sebelum lelang.

  1. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah adat, maka syarat-syaratnya adalah :

–    Bagi daerah yang sebelum UUPA sudah dipungut pajak :
Surat pajak hasil bumi / petok D lama, perponding Indonesia dan segel-segel lama. Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang. Surat asli jual-beli, hibah, tukar menukar, dan sebaginya. Surat kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan. Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dan tidak dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.

–    Bagi daerah yang sebelum UUPA belum dipungut pajak :
Keputusan penegasan/pemberian hak dari instansi yang berwenang. Surat asli jual-beli, hibah, tukar menukar, dan sebagainya yang diketahui atau dibuat oleh kepala desa/pejabat yang setingkat. Surat kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan. Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dan tidak dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.

  1. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah hak barat, misalnya eks tanah hak eigendom, syarat-syaratnya adalah :

–    Grosse akta.

–    Surat Ukur.

–    Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat berwenang.

–    Kuasa konversi, bila pengkonversian itu dikuasakan.

–    Surat pernyataan pemilik yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa, tidak dijadikan tanggungan hutang, sejak kapan dimiliki dan belum pernah dialihkan atau diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain.

  1. Pemilik sertifikat hak tanah yang hilang atau rusak. Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat :
  2. Surat keterangan kepolisian tentang hilangnya sertifikat tanah tersebut.
  3. Mengumumkan tentang hilangnya sertfikat tanah tersebut dalam Berita Negara atau harian setempat.
  4. Bagi pemohon yang sertifikatnya rusak, diharuskan menyerahkan kembali sertifikat hak atas tanah yang telah rusak tersebut.
    Pada intinya semua keterangan diatas diperlukan untuk mengklarifikasi data guna kepastian hukum atas subjek yang menjadi pemegang hak dan objek haknya. Bila keterangan-keterangan tersebut terpenuhi dan tidak ada keberatan-keberatan pihak lain, maka pengurusan sudah dapat dilanjutkan ketahap selanjutnya..
  5. Pengukuran dan Pendaftaran Hak

Setelah seluruh berkas permohonan dilengkapi dan diserahkan ke Kantor Pertanahan setempat, maka proses selanjutnya di kantor pertanahan adalah pengukuran, pemetaan dan pendaftaran haknya. Bila pengukuran, pemetaan dan pendaftaran itu untuk pertama kalinya maka ini disebut sebagai dasar permulaan (opzet), sedangkan bila kegiatan itu berupa perubahan-perubahan mengenai tanahnya karena penggabungan dan/atau pemisahan maka kegiatan itu disebut sebagai dasar pemeliharaan (bijhouding).

Untuk keperluan penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah tersebut, dipergunakan 4 (empat) macam daftar yaitu : 1.Daftar tanah, 2.Daftar buku tanah, 3.Daftar surat ukur, 4.Daftar nama.

Untuk kegiatan-kegiatan pengukuran, pemetaan dan lain sebagainya itu harus diumumkan terlebih dahulu, dan kegiatan-kegiatan tersebut akan dilakukan setelah tenggang waktu pengumuman itu berakhir dan tidak ada keberatan dari pihak manapun. Untuk pemohon ahli waris dan pemilik tanah, pengumumannya diletakkan di kantor desa dan kantor kecamatan selama 2 bulan. Untuk pemohon yang sertifikatnya rusak atau hilang, pengumumannya dilakukan lewat surat kabar setempat atau Berita Negara sebanyak 2 (dua) kali pengumuman dengan tenggang waktu satu bulan.

Dalam pelaksanaan pengukuran, karena hakekatnya akan ditetapkan batas-batas tanah maka selain pemilik tanah yang bermohon, perlu hadir dan menyaksikan juga adalah pemilik tanah yang berbatasan dengannya. Pengukuran tanah dilakukan oleh juru ukur dan hasilnya akan dipetakan dan dibuatkan surat ukur dan gambar situasinya.

Atas bidang-bidang tanah yang telah diukur tersebut kemudian ditetapkan subjek haknya, kemudian haknya dibukukan dalam daftar buku tanah dari desa yang bersangkutan. Daftar buku tanah terdiri atas kumpulan buku tanah yang dijilid, satu buku tanah hanya dipergunakan untuk mendaftar satu hak atas tanah. Dan tiap-tiap hak atas tanah yang sudah dibukukan tersebut diberi nomor urut menurut macam haknya.

  1. Penerbitan Sertifikat

Tahap terakhir yang dilakukan adalah membuat salinan dari buku tanah dari hak-hak atas tanah yang telah dibukukan. Salinan buku tanah itu beserta surat ukur dan gambar situasinya kemudian dijahit/dilekatkan menjadi satu dengan kertas sampul yang telah ditentukan pemerintah, dan hasil akhir itulah yang kemudian disebut dengan sertifikat yang kemudian salinannya diserahkan kepada pemohonnya. Dengan selesainya proses ini maka selesailah sertifikat bukti hak atas tanah yang kita mohonkan.

Untuk lancarnya tahap-tahap tersebut diatas, pemohon senantiasa dituntut untuk aktif dan rajin mengurus permohonannya itu. Segala  kekurangan persyaratan bila mungkin ada, harus diusahakan untuk dilengkapinya sendiri.

Kelincahan dalam mengurus kelengkapan dari syarat-syarat ini akan sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya penerbitan sertifikat. Untuk itu perlu adanya komunikasi aktif yang dilakukan oleh pemohon kepada petugas di Badan Pertanahan Nasional untuk mengetahui proses pengurusan/penerbitan sertifikat.

Dengan membaca artikel ini setidak tidaknya setiap orang yang akan mengurus sertifikat dapat terbantu. (Red)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *