Keris Mpu Gandring Dan Sejarah Kekuasaan Curang

oleh -

PADANG,SUMBARTODAY-Meskipun saya bukan “anak IPS” dan tidak pernah belajar antropologi, tapi saya selalu tertarik dengan kisah Ken Arok, sang pendiri kerajaan Singhasari, dengan keris Mpu Gandring yang bertuah. Bukan karena saya percaya pada tuah dan kutukan keris nan sakti mandraguna itu, tapi karema ada banyak filosofi dan hikmah yang bisa digali dari kisah Ken Arok. Ada beberapa tulisan saya dulu yang mengambil fragmen dari kisah Ken Arok untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi di “jaman now”, sekian abad setelah Ken Arok dan kerajaan Singhasari sendiri punah.

Seperti juga bangsa-bangsa lain di atas bumi ini, bangsa kita pun punya sejarah kelam disamping sejarah gemilang. Punya “DNA” pengkhianatan, selain DNA pejuang dan pahlawan. Seperti halnya anak Adam, ada Qabil dan Habil.

Bisa dibilang terobsesinya saya pada kisah Ken Arok sama dengan teronsesinya saya pada “All the President’s Men”. Keduanya sama-sama tentang kekuasaan yang diraih dengan cara curang, hanya saja beda endingnya, sebab beda antara orang timur dengan orang barat dalam menghadapi dan merespon masalah.
Mari kita flash back sejenak kisah tentang Ken Arok dan keris saktinya.

Saya melihat video proses produksi baja dengan teknologi modern yang terjadi di pabrik baja modern. Selintas, terpikir bagaimana orang jaman doeloe membuat senjata tajam, yang semua itu pasti berbahan dasar baja. Mengolahnya dari sejak berupa bijih besi hingga jadi lempengan baja tanpa tanur-tanur bersuhu tinggi, dsb. Pastilah butuh waktu berminggu-minggu bahkan berbilang bulan. Mendadak saya teringat Mpu Gandring, pakar pembuat keris pada jamannya. Keris bahan bakunya jelas baja berkualitas tinggi, itu sebabnya tidaklah singkat waktu yang dia butuhkan untuk menyempurnakan keris dan selongsongnya. Sayangnya, Ken Arok tak cukup sabar untuk menunggu sampai semuanya selesai. Dia datang lebih awal, lalu merampas keris yang sudah jadi meski sarungnya belum selesai. Lalu dibunuhnya Mpu Gandring dengan keris itu. Disinilah awal mula “kutukan” itu bekerja, karena Sang Mpu tak terima dan sebelum nyawa berpisah dari raganya, dia mengeluarkan kutukan bahwa kelak keris itu akan memakan korban 7 orang, termasuk Ken Arok dan keturunannya.

Siapakah Ken Arok dan apa motifnya memesan keris sakti, kenapa pula terburu-buru?
Ken Arok asalnya adalah seorang pencuri dan penjudi, yang semasa kecilnya pernah diasuh oleh seorang pencuri lalu beralih ke tangan asuhan seorang penjudi, hingga akhirnya dia menjadi seorang penyamun/perampok.
Namun berkat bantuan Lohgawe, Ken Arok akhirmya bisa masuk ke Tumapel dan menjadi pengawal serta orang kepercayaan Tunggul Ametung, sang akuwu Tumapel.

Sayangnya, namanya penjahat meski sudah ditolong akan tetap terbuka peluang untuk berbuat jahat terhadap orang yang mempercayainya. Bermula dari ketertarikannya pada Ken Dedes, istri Tunggul Ametung, Ken Arok pun mulai merancang upaya pembunuhan dengan memesan keris sakti pada Mpu Gandring.

Setelah keris di tangan dan si pembuat keris disingkirkan, Ken Arok membawa pulang keris itu, namun dia masih butuh kambing hitam. Maka ditemuilah Kebo Ijo, orang yang bodoh tapi suka pamer. Kepada Kebo Ijo Ken Arok menunjukkan keris itu, dan sudah bisa diduga Kebo Ijo tertarik. Ken Arok lalu meminjamkan keris itu, asalkan Kebo Ijo mengembalikannya dalam tempo sehari. Kebo Ijo sepakat. Lalu dia pun berkeliling memamerkan keris itu kepada warga Tumapel. Dia mengaku keris itu miliknya. Sebelum malam, keris dikembalikan. Ken Arok lalu menjalankan aksinya : membunuh Tunggul Ametung dan membiarkan keris itu tetap tertancap di tubuh Tunggul Ametung.
Keesokan harinya, ketika warga dihebohkan dengan penemuan jasad Tunggul Ametung dengan keris menancap di tubuhnya, mereka langsung menuduh Kebo Ijo-lah pelakunya. Kebo Ijo pun dijemput dan dia pun dibunuh dengan keris itu, nyawa dibalas nyawa, walau sebenarnya Kebo Ijo tak tahu apa-apa. Yang mengeksekusi Kebo Ijo tak lain adalah Ken Arok juga.

Sepeninggal Tunggul Ametung, Ken Arok lalu mempersunting Ken Dedes dan menguasai Tumapel, bahkan kemudian memperluas wilayahnya dan menghancurkan Kadiri, lalu mendirikan Singhasari dan menjadi raja disana.

Namun, Ken Dedes yang sebenarnya tahu siapa pembunuh Tunggul Ametung memberitahu putranya Anusapati, anaknya dari Tunggul Ametung, bahwa Ken Aroklah pembunuh bapaknya. Anusapati lalu menyuruh seseorang untuk membunuh Ken Arok dengan keris Mpu Gandring juga. Orang yang disuruh membunuh Ken Arok, yaitu Ki Pengalasan, lalu dibunuh juga oleh Anusapati. Dan Anusapati pun menggantikan kedudukan Ken Arok sebagai raja.

Balas dendam berlanjut, Tohjaya, anak Ken Arok dari selirnya: Ken Umang, tahu siapa pembunuh ayahnya. Di kemudian hari dia merancang jebakan lewat acara sabung ayam yang disukai Anusapati, saat lengah itulah Anusapati dibunuh oleh Tohjaya, yang kemudian merampas tahtanya. Dalam kekuasaannya, terjadi pergolakan dan ketidakpuasan dimana-mana. Bukan hanya di kalangan rakyat, namun juga di kalangan istana sendiri. Perang saudara pun berkobar yang akhirnya menewaskan Tohjaya. Tahta kerajaan kemudian jatuh ke tangan Ranggawuni dan dalam masa pemerintahannya Singhasari mengalami masa yang aman dan damai.
Keris Mpu Gandring pun lenyap.

Jika kita cermati kisah Ken Arok versi kitab Pararaton itu, maka ada beberapa hal yang bisa kita ambil hikmahnya. Seorang yang asalnya bukan orang baik-baik (Ken Arok digambarkan seorang ‘bromocorah’) ketika ia dibawa masuk ke dalam lingkungan kekuasaan dan diberi kepercayaan, niscaya ia akan khianati kepercayaan itu. Bila perlu orang yang mempercayainya akan dia tikam di saat lengah, seperti halnya Ken Arok membunuh Tunggul Ametung disaat ia tidur nyenyak.

Seseorang yang memiliki ambisi berkuasa sedemikian besar, maka ia akan menghalalkan segala cara. Pada awalnya ia butuh bantuan orang lain, namun ketika tujuannya tercapai, ia akan singkirkan orang-orang yang membantunya, demi menghilangkan jejak. Lihatlah bagaimana Ken Arok membunuh Mpu Gandring dan Kebo Ijo.
Jadi, jangan bangga jika ikut dalam permufakatan jahat meraih kekuasaan. Sebab ketika kekuasaan telah diraih, maka para “pemeran pembantu” akan disingkirkan, agar sang aktor tetap bisa berperan sesuai skenario jahatnya.

Namun, kelicikan, keculasan, kecurangan, pastilah akan melahirkan dendam. Ada hati yang terluka, ada pihak yang tak terima. Jika itu semua tak diselesaikan lewat jalur hukum, maka saling berbalas dendam akan terjadi dan yang menjadi korban adalah rakyat. Para penghamba kekuasaan yang mendapatkannya dengan cara licik dan culas, penuh tipu daya dan jebakan, niscaya akan mendapatkan balasannya. Namun kesabaran rakyat pun ada batasnya.
Sejak jaman dahulu kala, abad ke-13, sudah ada people power dalam wujudnya saat itu, dimana terjadi pergolakan rakyat di berbagai penjuru kerajaan.
Tohjaya akhirnya tidak mati di tangan keturunan Anusapati, tidak juga mati karena keris Mpu Gandring. Dia mati karena terkena lembing dan sejumlah luka yang dideritanya akibat pergolakan di negerinya.

Saya pribadi percaya bahwa setiap ketidakjujuran, kecurangan berskala besar, jaman sekarang disebut “TSM”, yang melibatkan banyak pihak, pada suatu saat akan terkuak fragmen demi fragmen. Apalagi jika orang-orang atau pihak yang tak lagi dibutuhkan mulai disingkirkan untuk menutupi jejak. Jangan harap kedamaian tercipta dalam sebuah kekuasaan yang didapatkan dengan cara licik.

Di Amerika, episode kemenangan yang berbalut kecurangan itu terjadi pada Pilpres tahun 1972, ketika Richard M. Nixon sangat berambisi untuk bisa melanggengkan kekuasaannya hingga 2 periode. Tim suksesnya yang terdiri dari para pejabat Gedung Putih kemudian menjalankan taktik culas dengan memasang penyadap di kantor pemenangan rivalnya dari partai Demokrat, yang berlokasi di Water Gate.
Nixon memang berhasil memenangkan pilpres pada 7 November 1972 dengan kemenangan yang sangat telak : lebih dari 60%!
Ia kemudian kembali dilantik menjadi presiden untuk periode kedua di bulan Januari 1973. Namun, pada 8 Agustus 1974 Richard M. Nixon terpaksa mundur ketimbang dimakzulkan.

Kecurangan Nixon dan seluruh tim suksesnya berhasil terungkap berkat kegigihan 2 jurnalis The Washington Post : Carl Bernstein dan Bob Woodward. Inilah sejatinya peran pers sebagai pilar keempat demokrasi. Ketika pers gigih mengungkap kebenaran, bukan berpihak pada kekuasaan. Jangan dikira The Washington Post (TWP) tidak mengalami tekanan selama masa investigasi yang panjang sejak Juni 1972 ketika pembobolan kantor Komite Nasional Partai Demokrat di Water Gate itu terjadi. Namun pemiliknya, Katherine Graham, tak goyah tekad untuk tetap melindungi para jurnalisnya mengungkap kecurangan sang penguasa.

Hingga akhirnya, bermula dari reportase investigatif TWP yang kemudian dibukukan menjadi “All the President’s Men” (semua orang-orangnya presiden), kasus itu pun dibawa ke lembaga penegak hukum: Komite Yudisial dan Mahkamah Agung, yang akhirnya meloloskan tuntutan untuk dilakukan tuntutan kepada presiden yang menang namun diwarnai kecurangan.

Mungkin inilah BEDA KULTUR antara masyarakat “barat” dan “timur”. Disana, masyarakatnya lebih terbuka, persnya tidak mau menjadi budak kekuasaan, menjalankan fungsinya untuk memberi informasi yang jujur kepada publik. Semua transparansi itu membuat yang curang dan culas tidak mampu menghindar dari tuntutan hukum.

Dalam latar belakang budaya yang berbeda, kisah ambisi Ken Arok untuk merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung sebenarnya telah diketahui Ken Dedes, orang terdekat Tunggul Ametung. Namun dia memilih diam, dan pada saatnya dia sampaikan itu kepada putranya, sehingga balas dendampun terjadilah.

Itulah 2 kisah berbeda dari ambisi berkuasa yang menghalalkan segala cara. Kini jaman makin maju, kehidupan manusia makin modern dengan segala perangkat dan tekhnologinya. Kecurangan dan kelicikan pun makin canggih modusnya. Namun semuanya akan berakhir sama : ketidakpuasan rakyat!! Inilah gambaran keadaan yang terjadi di negara yang akhir-akhir ini disebut negara Spanyol(Sparuh nyolong).

sumber Oleh : Iramawati Oemar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *